Malang - Kerbau Itu Dikira Kambing

Seperti apa Malang tempo dulu? Bagaimana tata kotanya, kultur masyarakatnya? Lewat ”Malang Old Festival” atau ”Festival Malang Kembali” di Jalan Ijen, Kota Malang, 22-25 Mei 2008, warga Malang diajak masuk ke sebuah ”lorong waktu”, mengecap suasana masa silam, mulai zaman Kanjuruhan hingga Kolonial. ”Malang Kembali” mengajak warga untuk kembali ke jati diri.

Puluhan ribu warga memenuhi Jalan Ijen selama festival berlangsung. Acara ini selain menjadi ajang klangenan mengenang masa lalu juga menjadi semacam ruang sosial untuk berinteraksi. Sekelompok anak muda mengenakan batik, asyik berbincang sambil lesehan makan orem- orem, makanan khas Malang terdiri dari ketupat yang diguyur kuah tempe plus lauk telur asin atau ayam goreng. Beberapa lelaki berusia lanjut, juga mengenakan batik, duduk bersila melingkar di satu sudut warung.

”Ayo mampir, ngemut (mengulum) permen gulali warisannya Mbah Kakung (kakek),” rayu penjual gulali kepada pengunjung yang lewat. Gulali dianggap sebagai makanan masa lalu lantaran saat ini sudah sulit dijumpai, atau bahkan tidak ada lagi penjualnya. Gulali ini semacam permen lolipop, tetapi lembek. Penjual baru akan menyendok gulali dari nampan dan membubuhkannya ke ujung gagang permen begitu ada pembeli memesan. Dulu, penjual gulali biasa berkeliling dari kampung ke kampung.

Berbagai jenis makanan dan minuman dijual di gerai-gerai yang dibangun di trotoar Jalan Ijen sisi kiri dan kanan sepanjang 750-an meter. Selain gulali, ada pula jenang grendul (jenang coklat terbuat dari beras ketan), gula kacang, hingga tiwul dan gatot (terbuat dari singkong). Selain makanan yang langka ditemui, dijual pula makanan khas Malang, seperti orem-orem tadi.

Segala hal yang berbau masa lalu atau khas Malang ditampilkan. Ada gerai penjualan uang lama, sepeda ontel, buku serta majalah tua. Di gerai kawasan Majapahit, ditawarkan pelatihan membuat keris, wayang, gerabah, serta arca.

Suasana pun sebisa mungkin dibikin seperti masa lalu. Orang- orang berpakaian lurik dan sewek (kain batik) lengkap dengan belangkon mondar-mandir di seputaran arena. Sejumlah orang mengenakan pakaian ala zaman kolonial Belanda sambil menyandang bedil. Mereka mengendarai sepeda ontel tua, mengelilingi arena.

Oh ya, di zaman ini sawah pun dianggap kuno. Panitia membuat satu petak sawah lengkap dengan tanah gembur, tanaman padi, serta kerbau. Agar suasana lebih ndeso, panitia memasang poster bergambar pemandangan pegunungan.

Banyak pengunjung begitu girang berfoto dengan latar belakang sawah dan poster pemandangan yang bercap salah satu sponsor itu. Ada yang berdiri sambil bergaya sedang menunjuk ke suatu tempat jauh. Sebagian dari mereka juga begitu takjub ketika melihat kerbau.

”Eh, ono (ada) wedus kambing,” teriak seorang cewek saat melihat seekor kerbau dan gudel (anak kerbau) di dekat sawah-sawahan itu. Beberapa cewek lalu berpose bersama kerbau yang dikira kambing itu.

Agaknya, sudah menjadi sebuah fenomena global jika anak- anak zaman sekarang tidak lagi mengenal asal muasal nasi yang mereka makan. Tidak hanya di kota metropolitan seperti Jakarta, tetapi juga di Malang yang berpenduduk sekitar 807.000 jiwa. Padahal, lahan sawah di Kota Malang masih seluas 1.444 hektar, tersebar di empat kecamatan dari lima kecamatan. Hanya di Klojen yang tidak ada sawahnya (Kota Malang dalam Angka, 2007).

Tahu sejarah

”Kami ingin semua orang Malang mengerti betul sejarah Malang,” kata penggagas sekaligus Ketua Panitia Festival Malang Kembali (FMK) Dwi Cahyono. Dwi berani menegaskan hal itu karena ia melalui Yayasan Inggil miliknya pernah melakukan survei dan ternyata 90 persen rakyat Malang tidak mengetahui persis kelahiran kotanya.

Pada FMK pertama tahun 2006, Dwi memilih tema kelahiran Kota Malang (1914-1942). Pada tahun 2007 ia meneruskan dengan tema perjuangan Kota Malang (1942-1947). Tahun ini, Dwi ingin membahas posisi Malang dalam sejarah nasional, mulai terbentuknya dataran tinggi Malang pada tahun 6.752 SM, lantas berdirinya kerajaan-kerajaan, hingga masa kolonial tahun 1947.

Tahun ini, panitia mendapat kucuran dana Rp 500 juta dari APBD Kota Malang, sejumlah sponsor, serta uang administrasi pengisi gerai Rp 100.000 per gerai.

Dwi berharap, ajang ini bisa menjadi cantelan untuk menata kota Malang ke depan menjadi lebih baik. Penataan kota akan menjadi pas jika pihak yang menata mengetahui persis kelahiran kotanya dengan jelas.

Sejarah, menurut Dwi, harus disampaikan dengan cara menghibur jika mau didengar. ”Itulah mengapa kami memakai kemasan kuliner, kerajinan, ludruk, keroncong, dan karawitan,” tutur Dwi.

Kelompok kesenian pencak silat, seperti Kerajaan Temor Kali dari Karang Taruna RW 4 Kedung Kandang, adalah salah satu yang merasakan manfaat festival ini. Meski hanya dibayar tidak lebih dari Rp 1 juta, sekadar untuk ongkos transportasi 25 anggota, mereka memperoleh banyak kenalan dan dengan demikian berkesempatan ditanggap. ”Biasanya kami ditanggap untuk kawinan, tarifnya antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta,” kata Ketua Karang Taruna RW 4 Kedung Kandang M Wahid.

Banyak kritik dari pengunjung. Salah satunya, seperti disebut cerpenis Malang, Ratna Indraswari Ibrahim, festival ini menjadi hampir mirip pasar malam saking banyaknya orang yang berjualan. Bahkan bisa ditemui di sana gudeg Yogya serta kerak telur Betawi.

Jati diri

Bagi Dwi, ia setidaknya ingin menunjukkan satu hal. Banyak hal bisa dibanggakan rakyat Malang jika mengetahui masa lalunya. ”Kami bukan ingin sekadar bernostalgia. Kami ingin kembali pada momen atau fisik yang mengubah sejarah Malang agar masyarakat mengenal jati diri,” paparnya.

Pencarian jati diri melalui perhelatan semacam ini, menurut dosen pascasarjana Universitas Negeri Malang, Djoko Saryono, adalah sebuah gejala umum. Seseorang bahkan sebuah kota akan selalu mencari akarnya untuk melegitimasi jati diri.

Bahayanya, hal ini sangat subyektif. Seolah-olah masa lampau menjadi jati diri yang paling baik untuk dirujuk. Padahal, jati diri itu adalah suatu proses sosiokultural yang terus-menerus dibentuk.

Konsep FMK bagi Djoko menjadi kurang jelas. Contohnya penggunaan gaya bahasa Melayu-Tionghoa, yang sebetulnya bukan cikal bakal nasionalisme, apalagi dikaitkan dengan jati diri Malang. Kata-kata seperti ”Boeat Pendoedoek Seantero Negeri” yang dipajang di baliho adalah gaya Melayu-Tionghoa.

Jika ingin mengaitkan sejarah dengan jati diri Malang, pemakaian bahasa walikan justru lebih tegas. Bahasa walikan adalah kata yang dibaca terbalik dari belakang. Misalnya arek malang menjadi kera ngalam. Saya tidak ngerti menjadi ayas kadit itreng. Saya tidak gelem (mau) menjadi ayas kadit meleg.

”Bahasa walikan ini bukan bahasa Jawa, bisa bahasa apa saja. Bahasa ini tidak dipakai pada tingkat leksikal, tapi sintaksis. Ada prinsip musikalitas dalam satu kata atau kalimat,” papar Djoko. Bahasa ini populer pada tahun 40-an dan lahir dari kalangan penjambret dan preman sebagai bahasa sandi. Bahasa ini kemudian meluas menjadi kekhasan Malang.

Jadi, apa sebenarnya jati diri Malang? Ratna Indraswari dan Djoko Saryono sama-sama menyebut egalitarianitas dan inklusivitas. ”Malang saat ini adalah sebuah komunitas baru yang sepenuhnya modern. Komunitas Malang bukan entitas etnik, tapi sebuah komunitas yang plural, cair, egaliter, yang biasa disebut sebagai Malangan,” jelas Djoko.

Semua etnis bisa masuk sebagai komunitas Malangan, misalnya dari Madura, Bali, bahkan Sunda. Karena masyarakat Malang sangat toleran, semua etnik bisa dengan mudah masuk dan menjadi seorang Malangis.

Itulah mengapa Ratna betah di Malang. ”Saya masih merasa sebagai a big child di sini,” ucapnya.

Osi ae….(iso ae, bisa saja)….

Source : http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/05/25/00380896/kerbau.itu.dikira.kambing

Comments :

0 comments to “Malang - Kerbau Itu Dikira Kambing”