Malang - Taman Hilang, Ruko Berganti

Jika Thomas Karsten masih hidup, mungkin dia akan terkaget-kaget melihat Kota Malang saat ini. Betapa tidak, kota yang dulu dia rancang sebagai kota taman, sekarang telah berubah menjadi kota ruko (rumah toko).

Apa mau dikata, seperti kota-kota lainnya di Indonesia, Malang juga tergilas roda pembangunan yang cenderung menghamba pada kepentingan ekonomi semata. Hingga tahun 1970-an, warga Malang masih bisa menikmati kemolekan kota ini. Cerpenis Ratna Indraswari Ibrahim, misalnya, masih ingat, setiap kali membuka pintu pada pagi hari, dia bisa melihat kabut dan embun. Dia juga masih bisa mendengar kicau burung gelatik dan suara jangkrik. Sekarang semuanya tinggal kenangan.

”Saya sudah lama kehilangan yang namanya kicau gelatik,” kata Ratna yang sejak kecil tinggal di Malang.

Ungkapan senada disampaikan Budi Sugiarto, dosen studi perencanaan wilayah dan tata kota dari Universitas Brawijaya. Dulu, katanya, kota ini penuh dengan taman bunga, kanal, dan danau kecil nan cantik. Jika menghadap ke barat, orang bisa melihat jajaran pegunungan yang bentuknya seperti putri tidur.

”Sekarang, taman-taman sudah berubah jadi mal dan perumahan elite, sementara pemandangan ke arah gunung terhalang bangunan tinggi,” ujarnya.

Menurut Budi, Karsten awalnya merancang Malang sebagai kota taman (garden city). Area untuk taman dan ruang terbuka mencapai 60 persen dari luas kota. Sisanya digunakan untuk area fungsi, seperti permukiman, perkantoran, dan perdagangan. Tahun 2000 luas taman yang tersisa tinggal sekitar 2 persen. Ke mana taman yang lainnya?

Taman-taman tersebut sudah lenyap tergilas roda pembangunan. Taman Indrokilo di belakang Museum Brawijaya telah berubah menjadi kawasan permukiman elite. Taman Wilis kini menjadi kios pedagang buku. Taman Jalan Veteran dan Taman Jalan Galunggung sekarang menjadi pompa bensin. Terakhir, sebagian ruang terbuka di Kompleks Stadion Gajayana disulap menjadi Mal Olympic Garden.

Ruko-ruko baru juga terus bermunculan di daerah yang dulunya ruang terbuka. Saking gencarnya pembangunan ruko, sampai-sampai anak muda memelesetkan slogan ”Kota Malang Ijo Royo-royo” menjadi ”Kota Malang Ijo Ruko-ruko”.

Pembangunan yang dilakukan secara serampangan seperti ini membuat kualitas lingkungan Malang merosot. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Karangploso Malang mencatat, sepanjang kurun waktu 1990 hingga 2006, suhu di Malang meningkat 0,050 derajat Celsius setiap tahun. Suhu maksimum tahun 1990 29,1-33,2 derajat Celsius. Tahun 2006, pernah dicapai 33,8 derajat Celsius. Tidak heran jika udara Malang yang dulu sejuk sekarang terasa gerah.

Malang yang seharusnya tidak banjir pun sekarang banjir. Menurut Budi, secara teori, Malang tidak seharusnya banjir karena kota ini dibelah beberapa sungai, antara lain Kali Berantas, Kali Bango, Kali Amprong, dan Kali Metro. Banjir terjadi karena danau kecil dan situ banyak yang lenyap. Padahal, itu penting untuk parkir air hujan sebelum masuk ke sungai.

Autis

Perubahan wajah kota secara berangsur-angsur juga mengubah karakter warganya. Ketika zaman penjajahan Belanda, kata Budi, londo-londo yang bermukim di sekitar Jalan Ijen umumnya senang bersosialisasi. Karena itu, rumah mereka tidak dipagari agar mereka bisa dengan mudah saling berkunjung. Kadang mereka membuat pesta kebun di bulevar Ijen sambil dansa-dansi.

Sekarang, kata Budi, penghuni kawasan itu umumnya tinggal dengan dunia masing-masing. Rumahnya pun dibatasi dengan pagar-pagar tinggi.

Ratna menambahkan, sifat egaliter dan guyub dulu terasa begitu kental di kalangan warga Malang. ”Kita tahu dan kenal siapa orang yang tinggal di sekitar kita,” katanya.

Sekarang, lanjut Ratna, warga Malang, khususnya di kalangan anak muda, seperti orang autis yang sibuk dengan dunianya sendiri dan cuek dengan lingkungan sekitar. Mereka terhanyut gaya hidup metropolis seperti anak- anak muda lainnya di hampir semua kota besar di Indonesia. ”Ngomong-nya pun sudah pake lu gue kayak orang Jakarta,” katanya.

Fenomena metropolis memang kian terasa kuat di Malang. Ada semacam kebutuhan di kalangan anak muda Malang untuk berpenampilan sama seperti anak muda di Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Karena itu, sebagian dari mereka selalu mengikuti apa pun yang tengah menjadi tren di ketiga kota itu.

Bagus Oktavianus, manajer band indie Malang, Chrom, mengatakan, untuk urusan penampilan, anak muda Malang sekarang berkiblat ke Bandung. ”Banyak anak muda yang merasa nggak oke (penampilannya) kalau belum memakai pakaian buatan Bandung,” katanya.

”Beberapa tahun lalu, cewek- cewek Malang juga meniru rambut model poni yang lagi nge-tren di Bandung,” tambah Bagus.

Tidak heran, distro-distro yang menjual produk-produk Bandung terus bermunculan sejak tiga tahun lalu di Malang. Untuk menarik minat, distro-distro itu sengaja diberi nama dengan embel- embel Bandung, seperti Distro Bandung Sport 4 U L (baca: four you all).

”Invasi” gaya hidup Bandung juga menggelinding ke wilayah makanan. Sejak dua tahun belakangan, warga Malang akrab dengan yang namanya roti bakar bandung, batagor, cilok, tahu sumedang, mi kocok bandung, hingga serabi bandung. Pokoknya, makanan yang sedang atau pernah nge-tren di Bandung dibawa ke Malang.

Di bidang musik, kata Bagus, band-band indie Malang juga merujuk ke Bandung meski Malang tahun 1970-an pernah menjadi barometer musik rock Indonesia. ”Secara umum, banyak band indie di sini yang ingin memiliki komunitas yang solid seperti di Bandung. Tapi, kami belum berhasil,” ujar Bagus.

Bagi Ratna, fenomena di atas menunjukkan betapa anak muda di Malang mulai kehilangan jati diri. ”Mereka mulai tidak pede dengan identitasnya sebagai Arek Malang,” katanya.

Apa mau dikata, orang Malang sudah telanjur masuk jebakan kapitalisme yang mendorong keseragaman. ”Arus kapitalisme memang sulit dibendung, tapi kalau kita cerdas, kita bisa menelikungnya,” kata Ratna.

Caranya, lanjutnya, dengan mempertahankan kultur Arek Malang yang egaliter. Jika tidak, Malang akan makin tergilas.

Oh tidaaak…! (Dahlia Irawati)

Source : http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/05/25/00385785/taman.hilang.ruko.berganti

Comments :

2 comments to “Malang - Taman Hilang, Ruko Berganti”
Asep Chenko said...
on 

Mohon kesediaan Sdr Bagus Oktavianus untuk menunjukkan itikad baik agar menyelesaikan masalah Hutang dengan beberapa rekan kerjanya..!! Terima Kasih..

Unknown said...
on 

Taman wilis itu dulunya berupa cekungan memanjang dari selatan (Kuburan Nggading) ke utara (sebelah utara jembatan jln Bondowoso) berupa jalan lori yang menghubungkan Pabrik Gula Kebon Agung dengan kebun-kebun tebu di Pilang (Sumber Sari dekat ITN sekarang) dan kebun-kebun tebu di daerah mblimbing.
(mas topik klampook kasri, malang)